Rabu, 30 Maret 2016

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

Nama Kelompok :
  1. Yulian Widiatmoko
  2. Yeni Aprilia - 2C214380
  3. Wahyuning Ayu - 2C214170
  4. Windi Astuti - 2C214273
  5. Yudia Mustika - 2C214519

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008



Perbankan Syariah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 merupakan segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun cara penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undangn Nomor 21 Tahun 2008 yaitu: melalui musyawarah, melalui mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau, melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut eksistensi bank Islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara ekspilist, melainkan baru disebutkan dengan menggunankan istilah “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Di dalam Pasal 6 maupun Pasal 13 Undang-Undang tersebut menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank Islam di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan istilah “prinsip bagi hasil” itu sendiri, apa pula landasan hukum operasionalnya dan kegiatan usaha apa saja yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank tersebut, sama sekali belum ditegaskan dalam Undang-Undang tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari berbagai kekurangannya mengenai pengaturan bank syariah dalam UU tersebut, bagi umat Islam Indonesia lahirnya UU Perbankan tersebut merupakan sebuah langkah maju. Dengan diberlakukannya UU Perbankan, upaya umat Islam untuk mendirikan bank yang sesuai dengan ajaran Islam di Indonesia, yang sebelumnya dihadapkan dengan kendala belum adanya peraturan perundangan yang dapat dijadikan landasan hukum untuk itu, sekarang sudah mulai dapat diwujudkan. Hal ini ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalah Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 di Jakarta, yang merupakan bank Islam yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 1998 disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengaturan mengenai perbankan Islam sudah lebih jelas dibandingan sebelumnya. Undang-Undang tersebut tmengakui dengan tegas keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan nasional. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang tersebut.5 Konsep perbankan syariah yang sebelumnya hanya disebutkan sebagai “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”, sekarang dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara jelas dengan menggunakan istilah “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Demikian juga halnya dengan landasan hukum operasionalnya serta jenis-jenis kegiatan usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank tersebut juga telah dirinci sedemikian rupa dalam Undang-Undang tersebut.



Upaya yang terus menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka semakin diakui keberadaan bank syariah di Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip syariah yang menjadi landasan operasionalnya.
Berkaitan dengan itu, masuknya sengeketa bidang perbankan syariah ke dalam kewenangan absolute lingkungan peradilan agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian disusul dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal ini antara lain dimaksudkan agar prinsip-prinsip syariah yang menjadi landasan hukum bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Seperti yang kita diketahui, bahwa prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan ideologis saja, melainkan juga merupakan landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabahnya, semua harus didasarkan dan diselesaikan sesuai dengan prinsip syariah tersebut.
Akan tetapi, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan fungsinya, tampak belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal. Terutama dalam hal sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabahnya. Hal ini karena sejak terjadinya akad antara bank syariah dengan nasabahnya hingga berakhir suatu perjanjian, ternyata semuanya mutlak mengikuti dan memedomani ketentuan KUHPerdata. Jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan nasabahnya berkaitan dengan perjanjian tersebut, menurut Sjahdeni “tidak akan diberlakukan hukum Islam, yang diberlakukan dalam hal ini adalah hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata karena hukum perdata itulah yang merupakan hukum positif”.
Penerapan prinsip syariah tersebut menjadi lebih sulit manakalah sengketa yang terjadi harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah, akan tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan syariah Islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Apabila perkara perbankan syariah tetap menjadi kewenangan peradilan umum, penyelesaiannya jelas tidak akan mengacu pada prinsip-prinsip syariah, melainkan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum yang belum tentu relevan dengan prinsip-prinsip syariah. Sehingga prinsip-prinsip syariah yang menjadi dasar kegiatan usaha bank syariah tersebut akan dapat ditegakkan secara konkrit dan seutuhnya, melainkan hanya bersifat konseptual dan parsial saja. Prinsip syariah tersebut dapat diterapkan secara konkrit dan seutuhnya dalam sisten operasional bank syariah, sejak perjanjian antara bank tersebut dengan nasabahnya hingga berakhirnya perjanjian, termasuk jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan pihak lain, maka dimasukkanlah sengketa bidang perbankan syariah tesebut ke dalam kewenangan lingkungan Peradilan Agama.
Bank syariah sendiri sebagai lembaga keuangan dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai implikasi yang luas dan dinamis. Dalam konteksnya dengan hukum perbankan, implikasi dari berbagai aktivitas perbankan syariah tersebut tidak hanya meliputi aspek hukum perdata saja, melainkan juga meliputi aspek hukum pidana, hukum dagang, dan hukum Internasional. Meskipun dalam aktivitasnya bank syariah tetap tidak terlepas dari ketentuan Undang-Undang Perbankan Nasional.

Devinisi Bank Syariah
Bank Syariah terdiri atas dua kata yaitu, bank dan syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Sedangkan kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Penggabungan kedua kata dimaksud, menjadi “bank syariah”. Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, bank syariah juga bisa disebut Islamic banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar).
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1). Untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus menggunakan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian lembaga perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai perbankan syariah.

Landasan Operasional Bank Syariah
Landasan utama beroperasinya bank syariah di Indonesia, selain UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, juga UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sekarang telah diperkuat dengan adanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Namun, bagaimanapun seperti lazimnya sebuah undang-undang ia tidak banyak mengatur hal-hal yang bersifat operasional mengenai bank syariah, melainkan hanya mengatur hal-hal atau mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum berkaitan dengan eksistensi bank syariah dalam tata hukum perbankan di Indonesia.
Sehubungan hal tersebut, agar bank syariah dapat beroperasi sebagaimana mestinya, maka diperlukan aturan-aturan tertentu yang bersifat operasional. Dalam rangka itu, Bank Indonesia selaku bank sentral telah mengeluarkan sejumlah peraturan sebagai landasan operasional bagi bank syariah dalam menjalankan fungsinya selaku lembaga perantara keuangan ( itermediary financial institution).
Landasan operasional bank syariah di Indonesia selain didasarkan pada undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), juga didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga lain, termasuk ketentuan-ketentuan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI dan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan peraturan yang sangat penting bagi landasan operasional bank syariah. Hanya saja yang perlu dipahami mengenai fatwa DSN ini, fungsi dan kedudukannya tidak sama dengan peraturan perundang-undangan tertulis lainnya. Ia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memaksa sebagaimana peraturan perundang-undangan tertulis. Fatwa pada dasarnya tidak lain merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan syariah atau perundang-undangan yang belum jelas.
Adapun fungsi dan keberdayaanya tidak lain sebagai hukum tidak tertulis, sehingga ia hanya akan diterapkan dan dijadikan dasar dalam suatu masalah tertentu manakala benar-benar tidak ada peraturan hukum tertulis yang mengatur masalah tersebut. Dalam keadaan semacam inilah fatwa-fatwa DSN tersebut dapat dipandang sebagai salah satu peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan bidang perbankan yang berlaku sehingga ia dapat dijadikan sebagai salah satu landasan operasional bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Atas dasar itulah dalam Pasal 26 Ayat (2) dan (3) UU No. 21 Tahun 2008 telah ditentukan bahwa fatwa-fatwa Majelis Ulama berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar fatwa-fatwa tersebut dalam pelaksanaannya mempunyai kekuatan mengingat dan memaksa.

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
                Ketentuan dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 mengatur berbagai cara penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan. Namun, para pihak dalam isi akad dapat menentukan cara penyelesaian sengketa lainnya dan tentu saja penyelesaiannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian sengketa perbankan syariah lainnya yang dilakukan sesuai dengan isi akad dapat berupa: melalui musyawarah, melalui mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau, melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
                Penyelesaian sengketa perbankan syariah lainnya yang dilakukan sesuai dengan isi akad seperti dalam Pasal 55 Ayat (2) di atas menyebutkan bahwa pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa sesuai dengan isi akad adalah berupa upaya sebagai berikut:
A.      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Musyawarah
Sengketa pada hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sebagaimana dalam sengketa perdata, dalam sengketa bisnis pun pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah melalui jalur pengadilan (litigasi) ataupun jalur di luar pengadilan (nonlitigasi), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan.

Setiap jenis sengketa terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat. Masing-masing sengketa yang terjadi belum tentu sama treatment penyelesaian. Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa juga tinggi. Ini berarti, semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan dari waktu ke waktu.
Dalam bisnis perbankan syariah, tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya yang disebabkan, misalnya, ketidaksesuaian antara produk perbankan syariah yang ditawarkan dengan kenyataannya, terdapat aturan yang merugikan nasabah perbankan syariah, dan hal-hal lainnya yang menyangkut kinerja perbankan syariah dalam melayani nasabahnya. Kalau persengketaan antara bank dan nasabah perbankan syariah tersebut tidak terselesaikan, hal itu dapat merugikan nasabah secara financial dan mengganggu reputasi perbankan syariah di mata masyarakat pada umumnya dan nasbahnya pada khususnya. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mewadahi penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah perbankan syariah secara damai, saling menghormati dan berkeadilan.
Di dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah menyatakan:
“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah”.
Dan dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan menghimpun dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah bahwa:
“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah”.
Jadi, apabila terjadi perselisihan antara bank dan nasabah perbankan syariah, penyelesaian utamanya dilakukan melalui cara “musyawarah”, “perdamaian”, atau “damai” di antara kedua belah pihak yang bersengketa.








B.      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase Syariah

Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 memberikan kemungkinan alternative penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak hanya melalui badan arbitrase syariah, tetapi dapat pula melalui alternative penyelesaian sengketa lainnya. Demikian pula Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 juga memberikan kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui alternative penyelesaian sengketa lainnya di samping badan arbitrase syariah. Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 meneyatakan bahwa:
“Dalam hal musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau Badan Arbitrase Syariah”
Dalam semua fatwa Dewan Syariah Nasional selalu memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang, diantaranya mentetapkan::
“Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dengan memedomani ketentuan dalam Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007, maka penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme arbitrase syariah baru dapat dilakukan jika penyelesaian sengketa melalui mediasi, termasuk mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan. Jadi, mekanisme arbitrase syariah dapat dilakukan jika penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui musyawarah dan mediasi tidak mencapai kata sepakat.

C.      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Mediasi Perbankan
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah”, yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam penyelesaian masalah, perselisihan, atau pertikaian di antara para pihak yang bersengketa dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian sengketa para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang sedang bersengketa.



Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank, selain melalui jalur peradilan, dapat pula dilakukan melalui negosiasi, mediasi dan arbitrase. Namun, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil, mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank perlu diupayakan secara sederhana, murah dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik dan reputasi bak tetap terjaga.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Bank Indonesia mengatur mediasi perbankan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008. Ketentuan mediasi ini berlaku pula, baik bagi bank ummum berdasarkan prinsip syariah maupun BPRS. Ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 menyatakan bahwa:
“Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan”.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 menyatakan bahwa:
“Mediasi perbankan diselenggarakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan bank yang disebabkan oleh tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.”

D.      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi (Peradilan)
Penyelesaian sengketa perbankan syariah, selain dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, dan arbitrase syariah juga dapat dilakukan melalui badan peradilan. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa melalui mediasi termasuk mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan memalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini sudah jelas bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah juga dapat dilakukan melalui lembaga peradilan sebagai alternative terkahir penyelesaian sengketa perbankan syariah, setelah melalui musyawarah,mediasi perbankan dan arbitrase syariah tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, masih terdapat perdebatan badan peradilan mana yang sesuai dengan dalam menyelesaiakan persengketaan perbankan syariah tersebut, apakah peradilan umum atau peradilan agama karena keduanya dianggap mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa Peradilan Umum lebih berwenang di dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan pertimbangan sebagai berikut:
v  Wewenang peradilan umum juga menangani bidang bisnis, sperti pengadilan niaga yang berada di bawah naungan peradilan umum sehingga pada peradilan umum tersebut bisa disediakan satu kamar yang menerima kasus tentang bisnis syariah.
v  Menghindari terjadinya gesekan-gesekan politik yang masih apriori terhadap umat Islam sehingga mengakibatkan tidak lancarnya pelaksanaan sistem ekonomi syariah.
v  Penempatan sengketa bisnis syariah pada pengadilan agama justru akan memperlambat pertumbuhan bisnis syariah karena ada kesan pengadilan agama hanya pengadilan bagi mereka yang beragama Islam. Para pihak yang menggunakan bisnis syariah belum tentu bergama Islam semua. Sementara ada anggapan bahwa para pihak yang harus bersengketa di pengadilan agama adalah harus muslim mengingat asas personalitas yang dianutnya.

Daftar Pustaka :
Afnil Guza, Undang-Undang Perbankan Syariah (UU RI Nomor 21 Tahun 2008) dan Surat Berharga Syariah Negara (UU RI Nomor 19 Tahun 2008), Jakarta: Asa Mandiri, 2008.

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.